Abah Sholah
Oleh : B.M Mulyanto
Rumahnya Among tidak begitu jauh dari sekolah MA Pawana tempai ia
menuntut ilmu dunia. Kadang beberapa teman sekolahnya bersilaturohim, sekedar
ngasoh setelah menjalani rutinitas sekolah yang melelahkan.
Sesampainya di rumah Among langsung melepas sepatu dan kaus kakinya
lalu berlari menuju kamarnya untuk mengganti seragam sekolah, sedangkan
Padmasari duduk anggun di shofa ruang tamu sambil menyenderkan badannya.
Among mendatanginya, membawakan gelas dan termos yang didalamnya
berisi es teh. Memasang senyuman lepas, dan bicara.
“Ya, inilah rumahku, Pad. Kecil dan reot, tapi kami nyaman
menempatinya”.
Padmasari membalas senyuman Among dan berkata.
“Ya, sama saja, Mong. Rumahku juga kecil dan reot, kok. Tapi kami
juga betah menempatinya, karena nyaman dan bersih”.
Suasana menjadi sepi, sedikit terdengan suara mesin jahit yang
sedang dijalankan dari dalam rumah di ruang keluarga, setelah perbincangan awal
mereka tentang rumah dengan kerendahan hati.
Padmasari bertanya, untuk meramaikan suasana.
“ Oiya, kamu tinggal sama siapa di sini, Mong?” .
Tanya Padmasari teman
sekelas Among di sekolah MA Pawana yang
sedang mampir untuk beristirahat.
“ Aku tinggal bertiga bersama ibu dan ayahku, Pad. (sembari pasang
senyuman lepas) Kalau adekku pesantren di Jawa Timur, Pesantren tempat kakekku
dulu. Jadi, ia pulangnya hanya satu tahun 2 kali, saat Ramadhon dan
akhirussanah kenaikkan kelas di Pondok Pesantrennya”.
Jawab Among sambil menuangkan es teh di gelas yang telah disediakan
dimeja tamu.
Padmasari berdiri dari shofa tamu dan berjalan-jalan melihat
potho-potho yang di pajang di ruangan itu. Ada satu potho yang membuat ia
penasaran, potho itu terletak di pojok kiri ruang tamu dekat jam dinding besar
yang setiap waktu kalau jarum panjangnya tepat di angka 12 pasti alaremnya
berbunyi. Potho itu terlihat kusam yang bergambarkan seorang kakek menggunakan
kopiah haji putih dan baju kokok putih. Padmasari memasang mimik muka serius
memperhatikan potho kakek itu lalu bertanya dengan Among.
“Mong, potho siapa itu ?(jari telunjuknya mengarah pada potho kakek
itu), kok aku tidak asing dengan wajah kakek itu”.
Sambil menaruh tangan kanannya di kening, seraya berfikir.
Dari ruang keluarga ibu Yuli yang sedari tadi hanya fokus menjahit
baju pesanan langganan di mesin jahit, memberhentikan pekerjaannya sejenak karena
mendengar pertanyaan dari Padmasari. Ibu paruh baya itu berkata.
“ Itu potho Ayahnya ibu Pad,
kakeknya Among yang sudah meninggal 10 tahun lalu. Dulu beliau ikut perang
penumpasan pasukan sekutu di Surabaya, pada tanggal 10 November 1945 bersama
arek-arek Surabaya yang di pimpin oleh bung Tomo yang diawali fatwa K.H Hasyim
Asy’ari yang terkenal, yaitu “Resolusi Jihad” tentang penumpasan penjajah di Indonesia, pada tanggal
22 Oktober 1945”.
Among terdiam tanpa kata, kepalanya merujuk ke atas sedikit mencerminkan
kebingungan dalam wajahnya, karena ia tidak
tahu cerita tentang kakeknya, dan ia pun memasang wajah serius khusu’
mendengarkan cerita ibunya.
Pamadmasari bingung mendengar penjelasan ibu Yuli berkaitan
Resolusi jihad. Sebab setahunya di pelajaran sejarah sekolahnya tidak ada
pembahasan tentang resolusi jihad, tapi hanya ada sejarah pertempuran 10
November di Surabaya pada tahun 45 yang menewaskan Jendral Mallaby dari
Inggris. Seraya berfikir keras dan kerutan kening semakin terlihat, Padmasari
melanjutkan pertanyaanya.
“Bagaimana cerita sejarahnya bu?. Tolong ceritakan kepada kami, bu
(memasang wajah memohon). Dan mengapa tanggal 10 November itu berkaitan dengan
22 Oktober tahun 45 tentang fawa resolusi jihad?”.
Suasana rumah menjadi sunyi, tidak ada bunyi mesin jahit dan Ibu
Yuli-pun pindah ke ruang tamu untuk gabung bersama Among dan Padmasari. Setelah
menarik nafas sejenak ibu Yuli meneguk es teh anaknya dan memulai ceritanya.
“ Jadi, gini neng. Sebelum
meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, di dahului dengan adanya
Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang di tandatangani oleh
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Intinya penekanan fatwa yang di keluarkan
Kia’i Hasyim itu adalah melawan sekutu dan penjajah merupakan jihad
fisabilillah yang wajib di lakukan kaum muslimin Nusantara untuk mempertahankan
kemerdekaan Negara Indonesia”.
Terasa belum puas dari penjelasan sejarah yang sebentar. Padmasari
bertanya lagi perihal perjuangan kakeknya Among di dalam peperangan 10
November.
Ibu Yuli menyenderkan badannya di shofa dan mengangkat kedua
kakinya ke atas lalu melanjutkan ceritanya.
“Dahulu tahun 1945 abah Sholah nama ayah ibu yang di poto itu (sambil
menunjuk ke arah potho) nyantri di daerah Jombang Jawa Timur yang sekarang jadi
pesantren tempat adeknya Among menuntut ilmu. Setelah mendengarkan Resolusi
Jihad yang di fatwakan oleh Kia’i Hasyim melalui pengumuman dan pamplet
informasih di pesantren, seluruh santri dan kia’i-kia’i yang tergabung dalam
laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah sekitar Jawa Timur membuat sebuah tekad
kuat dan menyiapkan jiwa serta raga untuk siap mati melawan penjajah dan
mempertahkan kemerdekaan Indonesia.
Nah, saat itu sebenarnya banyak pertempuran-pertempuran kecil di
sekitar daerah Jawa Timur. Tapi puncak pertempuran yang terjadi pada tanggal 27
Oktober - 20 November 1945 di Surabaya. Dengan kekuatan pasukan yang luar
biasa, dari Indonesia terhitung ada 20.000 tentara dan 100.000 sukarelawan yang
siap sahid di medan tempur dengan membawa bambu runcing dan senjata tajam.
Sedangkan dari Britania Raya (Inggris) ada 30.000 tentara dengan persenjataan
lengkap juga canggih dan di dukung oleh
pesawat tempur, kapal perang dan tank.
Ketika itu abah Sholah dan teman-teman sejawatnya yang nyantri berangkat dari Jombang
menggunakan truk angkut tebu pada dini hari setelah subuh. Tanpa persediaan bawaan
bekal makanan dan hanya membawa sebilah parang untuk penjagaan, dengan gagah
berani abah Sholah berangkat kemedan perang. Rangkaian doa dibacanya ketika
diperjalanan, keyakinan hati dari keberkahan air yang telah di bacakan doa oleh
Kia’inya dan telah diminumnya sebelum berangkat, sedikit menenagkan jiwanya.
Dengan sorak sorai ramai bekumandang kata “Allahu Akbar” seketika hati dan jiwa
merasa kuat serta berani dan siap mati, kata abah Sholah saat bercerita dengan
ibu”.
Dipertengahan cerita ibu Yuli ketawa sebab melihat tingkah anaknya
yang melamun.
Mata Among mengarah keatas seperti ada hal yang di hayal. Kepalanya
ikut mengangguk seraya mengerti dan tau situasi kejadian kakeknya kala itu. Among bertanya pada ibunya.
“ Lalu sesampainya di surabaya kakek langsung perang?”.
Ibu Yuli melanjutkan ceritanya.
“ Iya, sebab kala itu perang sudah mulai berkecambuk. Pasukan
syuhadah dari pondok pesantren sekitar Jawa Timur dan Madura sudah banyak yang
berguguran. Mayat-mayat berserakan di mana-mana, bom menghancurkan
bangunan-bangunan yang berdiri dan peluru-peluru berkeliaran lepas meledak
mengenai orang-orang yang berlari. Kala itu abah sholah dan temannya yang
bernama abah Abdullah mengumpat di serpihan gedung, sambil mengambil bedil
tentara yang sudah mati dan menembaki para tentara Inggris yang menggunakan
tank. Abdullah mati menjadi syuhada sedangkan abah Sholah lolos sebab Abah
Sholah lari dan melompat masuk dalam gorong-gorong ketika bom dijatuhkan oleh
pesawat perang Inggris yang mutar-mutar di area perang.
Perang berlangsung selama tiga minggu lebih. Perlawanan rakyat yang
awalnya spontalitas juga tidak terorganisir hari demi hari makin teratur dan
terorganisir. Walau ahirnya kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris tapi
pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan korban banyak termasuk
pertempuran yang berat bagi Inggris. Dan pertempuran Surabaya cikal bakal
pertempuran pemuda dari Sabang sampai Merauke sebab pemuda Surabaya rela mati
demi mempertahankan kotanya”.
Kumandang adzan asyhar berbunyi dari thowa masjid dekat rumah
Among. Tanpa terasa mendengarkan cerita ibu Yuli perihal “Resolusi Jihad” dan
pertempuran 10 November 1945 waktu sudah sore. Akhirnya ceritapun diselesaikan,
Among langsung berlari menuju kamar untuk mengambil sarung dan mengikuti
jama’ah sholat asyhar, dan Padmasari langsung mengapain tasnya dan izin pulang
kepada ibu Yuli dan Among. Sedang ibu Yuli berjalan kedapur untuk mengambil air
wudhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar