Rabu, 04 November 2015

cerpen



Abah Sholah
Oleh : B.M Mulyanto
Rumahnya Among tidak begitu jauh dari sekolah MA Pawana tempai ia menuntut ilmu dunia. Kadang beberapa teman sekolahnya bersilaturohim, sekedar ngasoh setelah menjalani rutinitas sekolah yang melelahkan.
Sesampainya di rumah Among langsung melepas sepatu dan kaus kakinya lalu berlari menuju kamarnya untuk mengganti seragam sekolah, sedangkan Padmasari duduk anggun di shofa ruang tamu sambil menyenderkan badannya.
Among mendatanginya, membawakan gelas dan termos yang didalamnya berisi es teh. Memasang senyuman lepas, dan bicara.
“Ya, inilah rumahku, Pad. Kecil dan reot, tapi kami nyaman menempatinya”.
Padmasari membalas senyuman Among dan berkata.
“Ya, sama saja, Mong. Rumahku juga kecil dan reot, kok. Tapi kami juga betah menempatinya, karena nyaman dan bersih”.
Suasana menjadi sepi, sedikit terdengan suara mesin jahit yang sedang dijalankan dari dalam rumah di ruang keluarga, setelah perbincangan awal mereka tentang rumah dengan kerendahan hati.
Padmasari bertanya, untuk meramaikan suasana.
“ Oiya, kamu tinggal sama siapa di sini,  Mong?” .
 Tanya Padmasari teman sekelas  Among di sekolah MA Pawana yang sedang mampir untuk beristirahat.
“ Aku tinggal bertiga bersama ibu dan ayahku, Pad. (sembari pasang senyuman lepas) Kalau adekku pesantren di Jawa Timur, Pesantren tempat kakekku dulu. Jadi, ia pulangnya hanya satu tahun 2 kali, saat Ramadhon dan akhirussanah kenaikkan kelas di Pondok Pesantrennya”.
Jawab Among sambil menuangkan es teh di gelas yang telah disediakan dimeja tamu.
Padmasari berdiri dari shofa tamu dan berjalan-jalan melihat potho-potho yang di pajang di ruangan itu. Ada satu potho yang membuat ia penasaran, potho itu terletak di pojok kiri ruang tamu dekat jam dinding besar yang setiap waktu kalau jarum panjangnya tepat di angka 12 pasti alaremnya berbunyi. Potho itu terlihat kusam yang bergambarkan seorang kakek menggunakan kopiah haji putih dan baju kokok putih. Padmasari memasang mimik muka serius memperhatikan potho kakek itu lalu bertanya dengan Among.
“Mong, potho siapa itu ?(jari telunjuknya mengarah pada potho kakek itu), kok aku tidak asing dengan wajah kakek itu”.
Sambil menaruh tangan kanannya di kening, seraya berfikir.
Dari ruang keluarga ibu Yuli yang sedari tadi hanya fokus menjahit baju pesanan langganan di mesin jahit, memberhentikan pekerjaannya sejenak karena mendengar pertanyaan dari Padmasari. Ibu paruh baya itu berkata.
 “ Itu potho Ayahnya ibu Pad, kakeknya Among yang sudah meninggal 10 tahun lalu. Dulu beliau ikut perang penumpasan pasukan sekutu di Surabaya, pada tanggal 10 November 1945 bersama arek-arek Surabaya yang di pimpin oleh bung Tomo yang diawali fatwa K.H Hasyim Asy’ari yang terkenal, yaitu “Resolusi Jihad” tentang  penumpasan penjajah di Indonesia, pada tanggal 22 Oktober 1945”.
Among terdiam tanpa kata, kepalanya merujuk ke atas sedikit mencerminkan kebingungan dalam wajahnya, karena ia  tidak tahu cerita tentang kakeknya, dan ia pun memasang wajah serius khusu’ mendengarkan cerita ibunya.
Pamadmasari bingung mendengar penjelasan ibu Yuli berkaitan Resolusi jihad. Sebab setahunya di pelajaran sejarah sekolahnya tidak ada pembahasan tentang resolusi jihad, tapi hanya ada sejarah pertempuran 10 November di Surabaya pada tahun 45 yang menewaskan Jendral Mallaby dari Inggris. Seraya berfikir keras dan kerutan kening semakin terlihat, Padmasari melanjutkan pertanyaanya.
“Bagaimana cerita sejarahnya bu?. Tolong ceritakan kepada kami, bu (memasang wajah memohon). Dan mengapa tanggal 10 November itu berkaitan dengan 22 Oktober tahun 45 tentang fawa resolusi jihad?”. 
Suasana rumah menjadi sunyi, tidak ada bunyi mesin jahit dan Ibu Yuli-pun pindah ke ruang tamu untuk gabung bersama Among dan Padmasari. Setelah menarik nafas sejenak ibu Yuli meneguk es teh anaknya dan memulai ceritanya.
 “ Jadi, gini neng. Sebelum meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, di dahului dengan adanya Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang di tandatangani oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Intinya penekanan fatwa yang di keluarkan Kia’i Hasyim itu adalah melawan sekutu dan penjajah merupakan jihad fisabilillah yang wajib di lakukan kaum muslimin Nusantara untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia”.
Terasa belum puas dari penjelasan sejarah yang sebentar. Padmasari bertanya lagi perihal perjuangan kakeknya Among di dalam peperangan 10 November.
Ibu Yuli menyenderkan badannya di shofa dan mengangkat kedua kakinya ke atas lalu melanjutkan ceritanya.
“Dahulu tahun 1945 abah Sholah nama ayah ibu yang di poto itu (sambil menunjuk ke arah potho) nyantri di daerah Jombang Jawa Timur yang sekarang jadi pesantren tempat adeknya Among menuntut ilmu. Setelah mendengarkan Resolusi Jihad yang di fatwakan oleh Kia’i Hasyim melalui pengumuman dan pamplet informasih di pesantren, seluruh santri dan kia’i-kia’i yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah sekitar Jawa Timur membuat sebuah tekad kuat dan menyiapkan jiwa serta raga untuk siap mati melawan penjajah dan mempertahkan kemerdekaan Indonesia.
Nah, saat itu sebenarnya banyak pertempuran-pertempuran kecil di sekitar daerah Jawa Timur. Tapi puncak pertempuran yang terjadi pada tanggal 27 Oktober - 20 November 1945 di Surabaya. Dengan kekuatan pasukan yang luar biasa, dari Indonesia terhitung ada 20.000 tentara dan 100.000 sukarelawan yang siap sahid di medan tempur dengan membawa bambu runcing dan senjata tajam. Sedangkan dari Britania Raya (Inggris) ada 30.000 tentara dengan persenjataan lengkap juga canggih  dan di dukung oleh pesawat tempur, kapal perang  dan tank. Ketika itu abah Sholah dan teman-teman sejawatnya yang nyantri berangkat dari Jombang menggunakan truk angkut tebu pada dini hari setelah subuh. Tanpa persediaan bawaan bekal makanan dan hanya membawa sebilah parang untuk penjagaan, dengan gagah berani abah Sholah berangkat kemedan perang. Rangkaian doa dibacanya ketika diperjalanan, keyakinan hati dari keberkahan air yang telah di bacakan doa oleh Kia’inya dan telah diminumnya sebelum berangkat, sedikit menenagkan jiwanya. Dengan sorak sorai ramai bekumandang kata “Allahu Akbar” seketika hati dan jiwa merasa kuat serta berani dan siap mati, kata abah Sholah saat bercerita dengan ibu”.
Dipertengahan cerita ibu Yuli ketawa sebab melihat tingkah anaknya yang melamun.
Mata Among mengarah keatas seperti ada hal yang di hayal. Kepalanya ikut mengangguk seraya mengerti dan tau situasi kejadian kakeknya  kala itu. Among bertanya pada ibunya.
“ Lalu sesampainya di surabaya kakek langsung perang?”.
Ibu Yuli melanjutkan ceritanya.
“ Iya, sebab kala itu perang sudah mulai berkecambuk. Pasukan syuhadah dari pondok pesantren sekitar Jawa Timur dan Madura sudah banyak yang berguguran. Mayat-mayat berserakan di mana-mana, bom menghancurkan bangunan-bangunan yang berdiri dan peluru-peluru berkeliaran lepas meledak mengenai orang-orang yang berlari. Kala itu abah sholah dan temannya yang bernama abah Abdullah mengumpat di serpihan gedung, sambil mengambil bedil tentara yang sudah mati dan menembaki para tentara Inggris yang menggunakan tank. Abdullah mati menjadi syuhada sedangkan abah Sholah lolos sebab Abah Sholah lari dan melompat masuk dalam gorong-gorong ketika bom dijatuhkan oleh pesawat perang Inggris yang mutar-mutar di area perang.
Perang berlangsung selama tiga minggu lebih. Perlawanan rakyat yang awalnya spontalitas juga tidak terorganisir hari demi hari makin teratur dan terorganisir. Walau ahirnya kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris tapi pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan korban banyak termasuk pertempuran yang berat bagi Inggris. Dan pertempuran Surabaya cikal bakal pertempuran pemuda dari Sabang sampai Merauke sebab pemuda Surabaya rela mati demi mempertahankan kotanya”.
Kumandang adzan asyhar berbunyi dari thowa masjid dekat rumah Among. Tanpa terasa mendengarkan cerita ibu Yuli perihal “Resolusi Jihad” dan pertempuran 10 November 1945 waktu sudah sore. Akhirnya ceritapun diselesaikan, Among langsung berlari menuju kamar untuk mengambil sarung dan mengikuti jama’ah sholat asyhar, dan Padmasari langsung mengapain tasnya dan izin pulang kepada ibu Yuli dan Among. Sedang ibu Yuli berjalan kedapur untuk mengambil air wudhu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar